(Modul) Al-Quran Hadits MA Darul Aiman Muntai
1 0 03-07-2013
0 suka
04-07-2013, 16:37:36
BAGIAN I
MENGENALI AL-QUR’AN


A. Al-Qur’an dan Wahyu
Tujuan Pembelajaran :
Setelah mengikuti materi kuliah al-Qur’an dan Wahyu ini, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut:
a. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi al-Qur’an
b. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi wahyu
c. Mahasiswa mampu menyebutkan cara Allah menyampaikan pesan-Nya berupa ajaran agama kepada Nabi
1. Pengertian al-Qur’an
Secara etimologi kata al-Qur’an berasal dari qara’a. Kata tersebut dapat diartikan kepada bacaan atau sesuatu yang dibaca (al-maqrū’). Pemberian nama Kitab Suci ini dengan al-Qur’an disebabkan karena ia memang diturunkan guna untuk dibaca dan dipahami isinya, kemudian diamalkan. Dan secara terminologi, al-Qur’an berarti “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril dimulai dengan surat al-Fātihah dan diakhiri dengan surat al-Nās, yang sampai kepada kita secara mutawatir dan dihitung sebagai ibadah bagi setiap orang yang membacanya.
Berdasarkan definisi di atas dapat ditegaskan, bahwa terdapat 6 karakter khusus al-Qur’an yang membuat ia berbeda dari buku atau kitab lainnya, yaitu:
a. Kalamullah; tidak dinamakan al-Qur’an ungkapan-ungkapan yang bukan Kalamullah
b. Diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Berdasarkan karakter ini, maka tidak dinamakan dengan al-Qur’an kitab-kitab yang diturunkan kepada Nabi selainnya.
c. Melalui malaikat Jibril. Artinya, pesan-pesan ilahiah yang diterima Nabi dari Allah tidak melalui Jibril bukanlah al-Qur’an. Oleh karena itu, Hadis qudsi tidak termasuk al-Qur’an, karena Hadis diterima Nabi tidak melalui Jibril
d. Sampai kepada kita secara mutawatir
e. Susunannya dimulai dari surat al-Fātihah dan diakhiri dengan surat al-Nas
f. Membacanya dihitung sebagai ibadah
Selain ciri di atas, terdapat pula karakteristik lain yang membuatnya berbeda dengan Hadis termasuk Hadis qudsi, yaitu al-Qur’an tersebut lafaz dan maknanya dari Allah. Sedangkan Hadis qudsi, maknanya dari Allah dan lafaznya dari Nabi.
2. Pengertian Wahyu
Secara harfiah, wahyu berarti bisikan atau isyarat yang sangat cepat. Secara terminologi, wahyu dapat didefinisikan kepada “menyampaikan sesuatu kedalam hati, baik diwaktu bangun ataupun di waktu tidur . Menurut al-Zarqani wahyu itu adalah pemberitahuan Allah kepada hamba pilihannya mengenai segala macam hidayah dan ilmu yang ingin disampaikan dengan cara tersembunyi dan tidak terjadi pada manusia biasa . Definisi pertama mengambarkan wahyu dalam arti umum, bukan wahyu sebagai salah satu cara penyampaian hidayah atau ilmu kepada para nabi. Definisi yang dibuat al-Zarqani lebih mengambarkan wahyu sebagai cara Allah menyampaikan hidayah dan ilmu kepada para nabi-Nya, secara langsung dengan membisikkan kedalam qalbu mereka sehingga para nabi itu, tanpa belajar dan membaca, megetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh orang lain. Dalam surat al-Nisā’ ayat 113 ditegaskan :
                
Artinya: Allah telah menurunkan al-Qur’an dan al-hikmah kepadamu, dan mengajarmu apa-apa yang belum kamu ketahui. (Amat) besarlah karunia Allah atasmu.
Al-Qur’an menyebutkan, ada tiga cara penyampaian misi ilahiah itu kepada para nabi dan rasul, yaitu melalui wahyu, pembicaraan di balik hijab dan atau Allah mengirim seorang utusannya. Firman Allah menegaskan :
       •                
Artinya: Dan tidak ada bagi seorang manusia pun, bahwa Allah berkata dengannya kecuali dengan perantaraan wahyu, atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana .
Pembicaraan di balik tabir adalah merupakan salah satu cara Allah menyampaikan risalah-Nya kepada nabi. Nabi tidak melihat Allah tetapi dia dapat menerima hidayah atau risalah itu, seperti yang dialami oleh Nabi Musa. Cara lainnya adalah melalui perantaraan Malaikat. Hal ini meliputi empat cara , yaitu :
1. Malaikat menyampaikan kedalam hati Nabi, di mana Nabi tidak melihatnya.
2. Malaikat datang kepada Nabi seperti seorang laki-laki dan lalu menyampaikan misi ilahiah itu kepadanya.
3. Malaikat datang kepada Nabi seperti bunyi bel. Hal ini sangat susah bagi Nabi (asyadd `alayh), sehingga dia berkeringat walaupun pada saat cuaca dingin.
4. Malaikat datang kepada Nabi dalam bentuk aslinya sebagai malaikat. Kemudian dia menyampaikan misi ilahiah itu kepada Rasul sesuai dengan apa-apa yang Allah kehendaki.
Walaupun Nabi itu seorang manusia biasa, tetapi dia dapat berjumpa dengan Jibril sebagai seorang malaikat. Dan dia dapat pula menerima bisikan atau pengajaran dari Allah, karena para nabi tersebut telah dipersiapkan untuk itu. Untuk memahami semua ini, bagaimana mungkin seorang manusia dapat berinteraksi dengan makhluk ruhani atau dengan Allah, maka dapat dilihat pada teori al-kasyaf Imam al-Ghazali atau hal-hal yang dilami oleh supra natural. Hal ini bisa terjadi pada manusia biasa, maka tentu bagi para nabi lebih mungkin lagi, karena mereka orang-orang yang dekat dengan Allah.
Wahyu yang disampaikan Jibril kepada Nabi Muhammad saw. adalah lafaz dan makna. Al-Juwaini, sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuti, mengatakan: Ada dua macam kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi, yaitu: Pertama, Allah berfirman kepada Jibril; katakan kepada Nabi, di mana kamu diutus kepadanya, sesungguhnya Allah berkata; buatlah ini dan itu. Jibril memahami apa yang Tuhan katakan kepadanya. Kemudian, ia turun kepada Nabi menyampaikan apa yang Tuhan firmankan itu. Dan ungkapan yang disampaikan Nabi kepada umatnya tidak persis seperti yang dia terima dari Malaikat tersebut. Kedua, Allah berfirman kepada Jibril; bacakan al-Kitab ini kepada Nabi. Maka Jibril turun kepada Nabi dengan lafaz dari Allah tanpa ada perubahan. Kemudian Nabi menyampaikan hal yang sama kepada umatnya. Kalam yang pertama, di atas, disebut dengan sunnah dan yang terakhir ini disebut dengan al-Qur’an. Dengan demikian, sunnah juga termasuk wahyu dari Allah. Berdasarkan ini, maka sunnah boleh diriwayatkan dengan makna, sedangkan al-Qur’an mesti diriwayatkan dengan lafaz.
Nabi Muhammad sebagai manusia biasa menerima bisikan dari Allah yang disebut dengan wahyu. Bisikan itu berisi misi atau risalah ilahiah yang disampaikan kepadanya melalui Jibril. Artinya, pewahyuan al-Qur’an kepada Nabi mengambarkan terjadinya perjumpaan antara makhluk material (jasmani), yaitu Nabi dengan makhluk immaterial (rohani), yaitu Jibril. Dan diterimanya wahyu oleh Nabi Muhammad saw dari Allah berarti terjadinya interaksi antara mahluk jasadi dengan Khaliq Yang Maha Tinggi.
Dari tiga cara penyampaian misi ilahiah itu, dua di antaranya langsung dari Allah kepada Nabi dan satu lainnya melalui perantaraan malaikat. Yang langsung dari Allah kepada para nabi adalah melalui wahyu dan pembicaraan di balik tabir.

Latihan
Untuk memantapkan pengtehuan saudara mengenai al-Qur’an dan wahyu kerjakanlah soal berikut ini:
a. Jelaskanlah pengertian al-Qur’an secara bahasa dan istilah
b. Apakah yang dimaksud dengan wahyu secara bahasa dan istilah?.
c. Kemukakanlah cara Allah menyampaikan ajarannya kepada para nabi atau rasul!
Rangkuman













B. Nuzul al-Qur’an
Tujuan Pembelajaran :
Setelah mengikuti materi kuliah Nuzul a-Qur’an ini, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut:
a. Mahasiswa mengetahui dan memahami konsep nuzul al-Qur’an
b. Mahasiswa mengetahui tahap-tahap penurunan al-Qur’an
c. Mahasiswa mengetahui dan memahami cara penyampaian al-Qur’an kepada Nabi
d. Mahasiswa mengetahui ayat yang pertama dan terakhir turun
e. Mahasiswa mengetahui dan memahami hikmah turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur
1. Pengertian Nuzul al-Qur’an
Secara bahasa, ungkapan “nuzūl al-Qur’ān” terdiri dari dua kata, yaitu nuzūl dan al-Qur’ān. Nuzūl artinya turun, maka ilmu nuzūl al-Qur’an secara harfiah berarti ilmu tentang turunnya al-Qur’an. Tetapi, apakah yang dimaksud dengan “turun” disini? “Turun (nuzūl)” mempunyai dua arti; pertama perpindahan tempat dari atas kebawah, seperti seseorang turun dari lantai dua kelantai satu. Makna kedua adalah perubahan keadaan sesuatu dari yang berkualitas menjadi yang kurang berkualitas seperti nilai ujian mahasiswa turun dari A menjadi B. Jika turun yang seperti ini yang dimaksud dengan nuzūl al-Qur’ān, dan al-Qur’an diyakini sebagai kalam Allah yang qadim, maka berarti ia mempunyai tempat. Ini tidak dapat diterima oleh Ahl al-sunnah wa al-Jama’ah, sebab bagi mereka al-Qur’an itu qadim, justru itu ia tidak mempunyai tempat. Apalagi ‘turun” dalam makna kedua; sebab tidak mungkin keadaan Kalam Allah yang qadim itu berubah, karena perubahan itu bertentangan dengan sifat qadimnya. Kedua pengertian “turun” ini mendiskripsikan, bahwa Kalam Tuhan itu jisim, ini jelas mustahil.
Al-Zarqani menolak kedua makna di atas dari al-Qur’an. Menurutnya, kedua makna ini tidak laiak digunakan terhadap al-Qur’an, baik dalam pengertian Allah menurunkan al-Qur’an dari tempat yang tinggi kepada tempat yang rendah ataupun dalam makna perubahan kualitas. Sebab hal ini membuat pengertian bahwa al-Qur’an itu berasal dari suatu tempat, jisim atau penurunan kualitas. Oleh sebab itu, al-Zarqani melihat kata “nuzūl” itu sebagai majaz dalam arti “i`lām (pemberi tahuan)” . Maka kata “nuzūl al-Qur’ān”, menurutnya, berarti pemberitahuan al-Qur’an atau pemberitahuan Allah kepada manusia yang disampaikan melalui al-Qur’an.
Secara istilah ilmu nuzūl al-Qur’ān adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang “turunnya al-Qur’an”, berasal dari Allah Yang Maha Mulia dan transenden, kepada manusia – dalam hal ini Nabi – yang penuh dengan sifat kemanusiaannya dan suasana manusiawi pula. Maka kadang-kadang al-Qur’an itu diterima Nabi ketika dia berada di Mekkah atau di Madinah, ketika dalam perjalanan atau sedang berada ditempat tinggalnya, dan di siang atau di malam hari.
2. Tahap Penurunan al-Qur’an
Al-Qur’an itu sampai kepada Nabi melalui tiga tahap; pertama penyampaian al-Qur’an dari Allah kepada lawhil mahfūzh. Maksudnya, sebelum al-Qur’an disampaikan kepada Rasul, sebagai utusan Allah terhadap manusia, ia terlebih dahulu disampaikan kepada lawhil mahfūzh, yaitu suatu lembaran yang terpelihara di mana al-Qur’an pertama kalinya tersimpan pada lembaran tersebut. Allah menjelaskan ;
        
Artinya: Tetapi ia (yang didustakan mereka) adalah al-Qur’an yang mulia yang (tersimpan) dalam lawhil mahfūzh .

Tidak ada manusia yang tahu bagaimana cara penyampaian al-Qur’an dari Allah ke lawhil mahfūzh. Dan manusia tidak wajib mengetahuinya, tetapi wajib mempercayainya karena begitu yang dikatakan Allah.
Tahap kedua adalah turunnya al-Qur’an ke langit pertama dengan sekali gus. Di langit pertama itu, ia disimpan pada Baytul `izzah. Penurunan tahap kedua ini bertepatan dengan malam qadar, seperti yang dijelaskan dalam surat al-Qadar ayat 1, yaitu :
     
Artinya: Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.
Malam kemuliaan ini dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam Lailatul Qadar yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, dan kebesaran, karena pada malam itu permulaan turunnya al-Quran. Orang-orang yang beramal shaleh di malam itu akan dilipatgandakan pahalanya, sama dengan beramal kebajikan selama seribu bulan. Dalam surat al-Dukhān ayat 3 pula :
       •  
Artinya: Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.
Yang dimaksud dengan malam yang diberkahi dalam ayat di atas ialah malam Al-Quran pertama kali diturunkan, yaitu di bulan Ramadhan. Sebagaimana yang dijelaskan juga dalam surat al-Baqarah ayat 185:
       ••                                        
Artinya: (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Ibn Abbas juga mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh al-Zarqani; “Al-Qur’an diturunkan, secara sekaligus, kelangit dunia pada malam qadar. Setelah itu, ia diturunkan kepada Nabi secara berangsur-angsur selama 20 tahun .
Dan tahap ketiga adalah turunnya al-Qur’an dari Baytul `Izzah secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw. melalui Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, atau selama 23 tahun . Jibril menyampaikan wahyu kedalam hati Nabi, sehingga setiap kali wahyu itu disampaikan beliau langsung menghafalnya. Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah menegaskan :
      •            
Artinya: Siapa saja yang bermusuhan dengan Jibril, maka sesungguhnya Jibril itu telah menurunkannya (al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan izin Allah, (ia) membenarkan Kitab yang ada dihadapannya dan (ia) merupakan petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang mukmin.
Klasifikasi tahap penurunan al-Qur’an di atas didasarkan atas penyampaian al-Qur’an dari Allah kepada Nabi Muhammad saw. Apabila klasipikasi tersebut didasarkan atas priode penyampaian dakwah Islam dan penanaman serta pertumbuhan ajaran Islam, maka penurunan al-Qur’an dapat diklasipikasikan pula kepada periode Mekkah dan Madinah. Periode Mekkah berlangsung lebih kurang 13 tahun dan periode Madinah lebih kurang selama 10 tahun. Dalam kajian ulum al-Qur’an, hal ini disebut dengan ilmu al-makkiyyah wal madāniyyah.. Jumlah surat yang diturunkan pada periode Mekkah lebih banyak dari jumlah surat yang diturunkan pada periode Madinah. Hal ini lebih rinci dijelaskan dalam pembahasan khusus tentang makkiyyah dan madāniyyah.
3. Hikmah Diturunnya al-Qur’an Secara Berangsur
Seperti yang telah digambarkan di atas, bahwa al-Qur’an itu diturunkan kepada Nabi tidak dengan sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur. Hal ini pernah mendapat ejekan dan kritik dari kaum kafir; mereka mempertanyakan, “Kenapa al-Qur’an tidak diturunkan dengan sekaligus”. Kitab-kitab sebelum al-Qur’an diturunkan dengan sekaligus, seperti Taurat Musa as, Injil Isa as dan Zabur Daud as. Maka al-Qur’an menjawab kritikan dan protes kaum kafir ini. Allah berfirman :
               •  
Artinya: Orang-orang kafir itu berkata, kenapa al-Qur’an tidak diturunkan dengan sekaligus?. Demikian itu (berguna) agar Kami menetapkan hatimu dengannya, dan Kami membacanya secara tertil (teratur dan benar) .

Dalam surat al-Isrā’ ayat 106 dijelaskan pula:
    ••   •  
Artinya: Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.
Paling tidak ada empat hikmah atau tujuan kenapa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, yaitu :
a. Menetapkan atau menguatkan hati Nabi, seperti yang digambarkan dalam ayat di atas. Dengan turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur, maka berarti Nabi akan selalu berjumpa dengan Jibril dan menerima al-Qur’an. Hal ini secara psikologis akan berpengaruh kepada Nabi dalam menyampaikan risalah ilahi; dia akan menjadi tegar dan kuat. Berbeda dengan turunnya secara sekaligus, berjumpa dan mendapatkan seluruh ayat kemudian tidak muncul lagi.
b. Berangsur-angsur dalam mendidik umat, yang sedang tumbuh, menanamkan ilmu dan amal. Hal ini dapat memberikan kemudahan kepada para sahabat memahami dan menghafal setiap ayat yang diturunkan, terlebih lagi mengamalkannya. Betapa sulitnya memahami dan menghafal ayat-ayat yang begitu banyak jika ia diturunkan sekaligus. Dan bahkan lebih sulit lagi mengamalkannya, karena perintah dan larangan yang begitu banyak muncul secara bersamaan. Maka untuk itulah Tuhan menurunkan ayat-ayat tersebut dengan berangsur-angsur.
c. Menyesuaikan dengan kejadian atau pristiwa yang terjadi pada masa itu. Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan perlunya penyesuaian penurunan ayat dengan pristiwa yang sedang terjadi; pertama akan menimbulkan kesan yang mendalam sehingga umat Islam benar-benar merasakan betapa butuhnya mereka kepada Kitab Suci ini. Bagaikan orang yang sedang sakit, kemudian diberikan obat yang langsung menyembuhkannya . Dan kedua adalah berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan para sahabat secara langsung dengan wahyu yang diturunkan ketika itu juga atau menunggu beberapa lama. Hal ini, selain menimbulkan kesan yang dalam kepada para penanya, juga dapat menambah keyakinan mereka bahwa al-Qur’an benar-benar datang dari Allah, sehingga Nabi harus menunggu turunnya ayat berkenaan.
d. Memberikan isyarat yang nyata kepada musuh-musuh Islam, bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah bukan perkataan Nabi. Jika ia kalam Muhammad saw, maka dia bisa mengungkapkannya kapan dan di mana saja, tidak perlu menunggu.
4. Ayat Yang Pertama dan Terakhir Turun
Al-Qur’an pertama sekalinya diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. pada tanggal 17 Ramadan tahun pertama kenabian atau di waktu Muhammad telah diangkat menjadi Nabi. Sampai saat ini, tanggal tersebut diperingati oleh umat Islam Indonesia setiap tahun sebagai malam peringatan nuzūl al-Qur’ān. Surat yang pertama turun adalah al-`Alaq ayat satu sampai dengan ayat lima , yaitu :
                        
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang Mengajar manusia (dengan perantaraan) qalam. Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.
Hal ini berdasarkan Hadis riwayat al-Bukhari, yang diterima dari cA’isyah ra, dia mengatakan :
Wahyu yang pertama sampai kepda Nabi dimulai dengan mimpi yang benar, yaitu datang kepadanya seperti cahaya di waktu pagi. Kemudian Nabi melakukan khalwat di gua Hira’ untuk beribadah. Kemudian kembali kerumah, selanjutnya pergi lagi dengan diberi bekal oleh Khadijah, sehingga pada suatu ketika datang kepadanya seorang Malaikat seraya berkata; Bacalah!. Nabi menjawab, aku tidak pandai membaca. Malaikat itu lalu memelukku erat-erat, kemudian dilepaskan lagi dan berkata, bacalah! Aku menjawab, saya tidak pandai membaca. Hal ini dia lakukan sampai tiga kali. Akhirnya dia berkata :
                        
Baihaqi juga meriwayatkan, yang diterima dari `A’isyah, dia berkata :”Surat al-Qur’an yang pertama turun adalah iqra’ bismi rabbikal ladzī khalaq.
Sedangkan ayat yang terakhir turun adalah ayat 281 surat al-Baqarah , yaitu :
•           •     
Artinya: Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya.
Sai`id bin Khudri, sebagaimana dikutip oleh al-Suyuti, mengatakan, ayat ini turun kepada Nabi sembilan hari menjelang beliau wafat . Menurut Ibn Abbas, ayat ini turun 81 hari sebelum Rasul wafat . Jadi, inilah pendapat yang kuat dibandingkan dengan pendapat yang populer di kalangan umat Islam, bahwa ayat yang terakhir turun adalah ayat 3 surat al-Mā’idah. Ayat ini turun di padang `Arafah ketika Rasul menunaikan haji terakhir, dan dia masih hidup beberapa bulan lagi setelah itu. Sedangkan ayat 281 surat ini turun 9 hari atau 81 hari menjelang Rasul wafat.


Latihan
Agar saudara dapat memahami lebih dalam lagi mengenai nuzul al-Qur’an, maka jawablah soal- soal berikut ini:
a. Apakah yang dimaksud dengan nuzul al-Qur’an?
b. Kemukakanlah tahap-tahap penurunan al-Qur’an dari Allah sampai kepada Nabi Muhammad saw !
c. Kemukakanlah ayat yang pertama dan terakhir turun !
d. Dalam surat apakah letaknya ayat yang pertama dan terakhir turun?
e. Kemukakanlah tiga macam hikmah turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur !
Rangkuman















C. Pembukuan dan Pemeliharaan al-Qur’an
Tujuan Pembelajaran:
Setelah mengikuti materi kuliah pembukuan dan pemeliharaan al-Qur’an ini, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut:
a. Mahasiswa mengetahui sistem pembukuan al-Qur’an di masa Nabi Muhammad saw
b. Mahasiswa mengetahui sistem pembukuan al-Qur’an di masa khulafa’ur Rasydidin
c. Mahasiswa mengetahui bentuk pemeliharaan al-Qur’an mulai dari masa Nabi sampai pada zaman sekaranng
1. Pembukuan al-Qur’an
Jika ditelusuri sejarah al-Qur’an, mulai dari diterimanya oleh Nabi Muhammad saw sampai kepada pertumbuhan dan perkembangan berikutnya, maka terdapat tiga tahap pembukuan al-Qur’an, yaitu pada masa Nabi, Abu Bakar dan Usman bin cAffan. Ketiga tahap pembukuan ini mempunyai ciri, karakter, tujuan serta latarbelakang yang berbeda.
Pada masa Rasulullah, al-Qur’an ditulis dan dihafal oleh para sahabat, setiap kali diturunkan. Tidak ada ayat al-Qur’an yang berlalu begitu saja kecuali semuanya mereka hafal dan mereka tulis. Penulisan al-Qur’an pada masa ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang ditunjuk Nabi sebagai sekretaris wahyu – di mana naskah yang ditulis itu sepesial untuk Nabi. Tetapi masing-masing sahabat yang pandai menulis juga menulis al-Qur’an untuk pribadinya; seperti yang dilakukan oleh Ibn Mas’ud dan ‘Ali bin Abi Talib.
Penulisan al-Qur’an pada masa Nabi masih tersebar dalam lembaran-lembaran, seperti tulang-tulang, pelepah kurma dan lain sebagainya; ia belum tersusun secara sempurna dan berurutan. Sebab, penurunannya masih berlangsung sehingga sulit dilakukan penulisan secara sempurna dan berurutan. Namun, tidak ada ayatnya yang tidak ditulis pada masa Rasul. Al-Suyuti mengatakan; “Seluruh ayat al-Qur’an telah ditulis di masa Rasul, tetapi belum terhimpun pada suatu tempat dan surat-suratnya belum tersusun” .
Pada masa khalifah Abu Bakar Shiddiq dilakukan kodifikasi terhadap naskah al-Qur’an yang telah ditulis pada masa Nabi itu. Karakter kodefikasi al-Qur’an pada masa ini ditandai dengan penyusunan al-Qur’an dalam suatu naskah secara rapi dan berurutan; di mana suatu surat dapat dibaca secara sempurna dalam satu naskah karena ia tidak tersebar dalam lembaran-lembaran yang berbeda. Kodifikasi al-Qur’an pada masa Abu Bakar ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Umar bin al-Khattab terhadap kemusnahan al-Qur’an, karena begitu banyak para huffāz dari kalangan sahabat yang tewas dalam peperangan melawan orang-orang murtad. Maka Umar lalu mengusulkan kepada Abu Bakar agar dilakukan kodifikasi terhadap al-Qur’an .
Pada masa khilafah Usman bin Affan, wilayah Islam sudah semakin luas, banyak orang non Arab memeluk Islam. Terjadi interaksi dan assimilasi antara orang-orang Arab dengan orang-orang ajam. Mereka yang telah memeluk Islam ingin mempelajari al-Qur’an, sebagai sumber utama ajaran Islam. Padahal al-Qur’an pada masa itu, dibaca dan ditulis dalam berbagai bentuk bacaan dan tulisan, di mana masing-masing pembaca mengklaim bahwa bacaan dan model penulisannyalah yang benar. Untuk menghindari sengketa ini, yang sudah mengarah kepada perpecahan, maka Usman sebagai khalifah pada masa itu mengambil kebijakan dengan mengkodifikasi kembali al-Qur’an , dengan menyatukan bentuk tulisannya berdasarkan al-Qur’an yang ditulis pada masa Abu Bakar. Usman membentuk tim penulisan dan memerintahkan mereka agar al-Qur’an ditulis dalam satu mashaf dan selainnya harus dimusnahkan. Pekerjaan ini melahirkan suatu ilmu yang dikenal dengan ilmu rasm al-Qur’an atau ilmu rasmil Usmāni, yang selanjutnya menjadi salah satu kajian dalam ulum al-Qur’an . Tim penulisan Al-Qur'an pada masa ini beranggotakan Zaid bin Tsabit, Sa`id bin al-`As, dan Abd Rahman bin al-Harits.
Ada dua hal membedakan mashaf yang ditulis pada masa Usman ini dengan mashhaf-mashhaf yang ada sebelumnya, yaitu susunan surat dan qira’at ; para sahabat yang menulis al-Qur’an untuk pribadinya mempunyai susunan surat yang berbeda dengan mashhaf usmani, dan dalam penulisannya mereka selalu memasukkan penafsiran suatu ayat dalam penulisan teks ayat. Seperti mashhaf Ibn Mas’ud dalam penulisan ayat 198 surat al-Baqarah, dia memasukkan kata fī mūsim al-hajj setalah kata min rabbikum. Demikian pula penambahan kata shālihah setelah kata kulla safīnah dalam ayat 79 surat al-Kahf.
Kodifikasi ini dibuat dalam empat rangkap. Kemudian, tiga rangkap di antaranya dikirim ke Syam, Kufah, dan Basrah. Gubernur di masing-masing wilayah boleh menggandakannya asal bentuk dan urutan yang sama. Inilah yang kemudian disebut dengan mashaf Usmani. Naskah al-Qur’an yang berbeda dengan naskah mashaf Usmani ini dimusnahkan guna menghindari perpecahan.
2. Pemeliharaan al-Qur’an
Ada tiga bentuk pemeliharan al-Qur’an, yaitu pertama kodifikasi setiap ayat dan penyusunan surat-suratnya, seperti yang dilakukan pada masa Nabi, Abu Bakar dan Usman, sehingga tidak ada ayat yang hilang. Ia mempunyai surat-surat dan ayat yang berurutan. Kedua pemeliharaan tulisan dengan memberi tanda baca. Ketiga penghapalan dan penafsiran, yang dilakukan mulai dari generasi sahabat sampai kepada zaman sekarang.
Tulisan al-Qur’an, pada awalnya, tidaklah seperti sekarang; ia ditulis dengan tidak memiliki tanda baca dan pembeda antara huruf yang sama. Hal ini berlaku mulai semenjak masa Nabi Muhammad saw sampai kepada masa khulafa’urrasyidin. Keadaan seperti ini bagi para sahabat tidaklah menjadi suatu problem; mereka bisa membacannya, sebab mereka orang-orang Arab sudah terbiasa dengan tulisan seperti itu. Tetapi bagi muslim non-Arab, apalagi yang baru masuk Islam, hal ini merupakan suatu problem besar. Mereka tidak bisa membacanya. Maka oleh sebab itu ayat-ayat al-Qur’an diberilah tanda baca. Pemberian tanda baca ini dilakukan pada abad ketujuh masehi (abad pertama hijrah) oleh seorang pakar bahasa, murid Ali bin Abi Thalib yaitu Abu Aswad al-Du’ali (605 – 688 M).
Al-Zanjani menyebutkan: Melihat keadaan al-Qur’an yang sering dibaca dengan bacaan yang salah, maka Ziyad bin Sumayyah (gubernuer Basrah) menyuruh Abu Aswad al-Du’ali membuat tanda baca pada huruf-huruf al-Qur’an. Abu Aswad pada mulanya menolak permintaan Ziyad ini, karena takut berbuat sesuatu yang tidak dilakukan Nabi. Ziyad terus mendesak Abu Aswad, dia menyuruh seseorang membaca al-Qur’an dengan bacaan yang salah di hadapan Abu Aswad. Orang itu membaca firman Allah yang terdapat dalam surat al-Tawbah ayat 3 ; أنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ . Sebenarnya ayat itu dibaca dengan وَرَسُوْلُهِ (dengan dhamma lam) bukan وَرَسُوْلِهِ (kasra lam). Jika dibaca wa rasūlihi berarti Allah tidak memperdulikan Rasul. Padahal maksud ayat itu adalah “bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak memperdulikan orang-orang musyrik”. Mendengar bacaan yang salah itu, Abu Aswad berucap “Maha Suci Allah. Dia tidak pernah mengabaikan Rasul-Nya”.
Selanjutnya Abu Aswad mengabulkan permintaan Ziyad bin Sumayyah membuat tanda baca pada huruf-huruf al-Qur'an. Ziyad mengirim 30 orang penulis kepada Abu Aswad, tetapi Abu Aswad hanya memilih satu orang saja di antara mereka. Abu Aswad berkata kepada muridnya itu; “ambillah mashaf dan zat pewarna. Jika kamu melihat bibirku mencuat kemuka (bersuara “u”), ketika membaca huruf, buatlah titik di tengah huruf sebagai tanda dhamma, jika bibirku terbuka (bersuara “a”) buatlah titik di atas sebagai tanda fathah, jika kamu melihat bibirku agak tertututp (bersuara “i”) buatlah titik di bawah sebagai tanda kasrah dan jika kamu mendengar suaraku berdengung (ghunnah) maka buatlah titikdua di atasnya”. Kemudian Abu Aswad membaca al-Qur’an, sedangkan muridnya membuat titik-titik itu. Dan setiap selesai satu halaman, Abu Aswad memeriksa ulang . Dengan usaha ini, maka al-Qur'an memiliki tanda baca yang ditandai dengan titik. Hal ini dalam kajian ulum al-Qur’an disebut dengan ilmu ilmu i`rabi al-Qur’an.
Agar al-Qur’an dapat dibaca, terutama oleh orang-orang non Arab, maka dibuat pula perbedaan huruf-huruf yang mirip dengan memberikan titik, seperti perbedaan ت, ث, ج, ح, خ, ر, ز dan lain sebagainya. Hal ini disebut dengan i`jam. Jadi dua titik, satu di antaranya sebagai simbol dari harkat dan lain sebagai pembeda huruf yang mirip. Untuk membedakan titik harkat dengan titik pembeda huruf yang sama, ditandai dengan warna. Kemudian belakangan titik sebagai simbol dari harkat diganti dengan garis seperti sekarang ini.
Selain dari memberikan tanda harkat dan i`jam pada ayat-ayatnya, al-Qur'an juga dipelihara dan dijaga oleh umat Islam dengan menghafal ayat-ayat tersebut. Banyak lembaga pendidikan yang terdapat di negara-negara Islam yang menyelenggarakan penghafalan al-Qur'an. Dengan demikian al-Qur'an tidak hanya tersimpan dalam mashaf tetapi juga tersimpan dalam dada umat Islam, sehingga jika ada kesalahan dalam penulisan maka kesalahan itu cepat diketahui. Selain itu, al-Qur’an diterjemahkan kedalam berbagai bahasa dan ditafsirkan sehingga melahirkan jutaan jilid buku.

Latihan
Untuk memamntapkan pemahaman saudara mengenai pembukuan dan pemeliharaan al-Qur’an, maka diskusikanlah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan teman sejawat :

1. Kemukakanlah sistem penulisan al-Qur’an di masa Nabi Muhammad saw !
2. Kemukakanlah sistem penulisan al-Qur’an di khulafa’ur rasyidin?
3. Apa yang melatar belakangi penulisan al-Qur’an di Abu Bakar Shiddiq dan Usman bin `Affan.
4. Kemukakanlah bentuk pemeliharaan al-Qur’an mulai dari masa Nabi sampai pada zaman modern ini !






Rangkuman


















D. Makkiyah dan Madaniyah
Tujuan Pembelajaran :
Setelah mengikuti materi kuliah Makkiyah dan Madaniyah ini, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut:
a. Mahasiswa mengetahui dan memhami istilah surat dan ayat makkiyah dan madaniyah
b. Mahasiswa mengetahui karakteristik ayat dan surat makkiyah
c. Mahasiswa mengetahui karakteristik ayat dan surat madaniyah
d. Mahasiswa mengetahui surat-surat makkiyah
e. Mahasiswa mengetahui surat-surat madaniyah
1. Pengertian Makkiyah dan Madaniyah
Kata al-makki berasal dari “mekkah” dan al-madani berasal dari kata “madinah”. Kedua kata tersebut telah dimasuki “ya’” nisbah sehingga menjadi al-makkiy atau al-makkiyah dan al-madaniy atau al-madaniyah. Secara harfiah, al-makki atau al-makkiyah berarti “yang bersifat mekkah” atau “yang berasal dari mekkah”, sedangkan al-madaniy berarti “yang bersifat madinah” atau “yang berasal dari madinah”. Maka ayat atau surat yang turun di Mekkah disebut dengan ayat makkiyah, dan yang diturunkan di Madinah disebut dengan al-madaniyah.
Secara istilah al-makki wa al-madani berarti “suatu ilmu yang membahas tentang tempat dan periode turunnya surat atau ayat al-Qur’an, yanng priode mekkah dan priode madinah”. Ayat atau surat yang turun pada preode Mekkah disebutkan dengan ayat/surat Makkiyyah dan ayat/surat yang turun pada pereode Madinah disebut dengan ayat madaniyyah. Secara terperinci para mufassir berbeda pendapat dalam mendefinisikan makkiyyah dan madaniyah tersebut. Perbedaan itu ialah :
a. al-makki adalah surat atau ayat yang diturunkan di Mekkah dan sekitarnya, walaupun setelah hijrah. Sedangkan al-madani adalah surat atau ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya.
b. al-makki adalah ayat-ayat yang dikhitabkan kepada penduduk Mekkah, sedangkan al-madani adalah ayat-ayat yang dikhitabkan kepada penduduk Madinah.
c. al-makki adalah surat atau ayat yang turun kepada Nabi sebelum hijrah, sedangkan al-madani surat atau ayat yang turun kepada Nabi setelah hijrah. Berdasarkan definisi ini, maka ayat yang turun di Mekkah setelah Nabi hijrah ke Madinah termasuk dalam kategori ayat al-madaniyah.
Perbedaan pendapat di atas dilatarbelakangi oleh berbedanya standar atau dasar berpijak mereka dalam membuat definisi. Ada tiga standar yang dijadikan sebagai dasar, yaitu tempat turunnya (makān al-nuzūl) dan individu atau masyarakat yang menjadi objek pembicaraan, larangan atau perintah al-Qur’an (al-asykhāsh al-mukhātabīn) dan periode penurunan al-Qur’an (zamān al-nuzūl). Definisi pertama didasarkan atas tempat turunnya surat atau ayat al-Qur’an, yang meliputi Mekkah dan sekitarnya serta Madinah dan sekitarnya.
Definisi kedua didasarkan atas isi kandungan suatu ayat, yang meliputi berita, perintah dan larangan; kepada siapa berita itu – secara langsung – ditujukan dan kepada siapa perintah dan larangan itu diarahkan. Jika ia ditujukan kepada penduduk Mekkah maka berarti ayatnya disebut makiyyah, demikian pula sebaliknya.
Definisi ketiga didasarkan atas periode penurunan al-Qur’an, yang seiring dengan periode pertumbuhan dan perkembangan Islam di masa Nabi; di mana periode itu dikelompokkan kepada sebelum dan sesudah hijrah. Berdasarkan standar ini, maka surat atau ayat yang diturunkan setelah hijrah termasuk dalam kategori ayat al-madaniyyah walaupun turunnya di Mekkah.
Di antara ketiga definisi di atas, yang paling masyhur adalah definisi terakhir, yaitu al-makkiyah surat atau ayat yang diturunkan sebelum hijrah dan al-madaniyah surat atau ayat yang diturunkan setelah hijrah walaupun turunnya di Mekkah . Sebab, hal itu sesuai dengan kegunaan ilmu al-makki wa al-madani ini dipelajari, yaitu untuk mengatahui al-nāsikh dan mansūkh. Dalam kajian nāsikh dan mansūkh, yang paling diutamakan adalah mengetahui waktu turunnya ayat; ayat yang turun lebih dahulu tidak dapat menasakhkan ayat yang turun kemudian. Maka ayat al-madaniyah dapat menasakhkan ayat al-makkiyah. Tetapi sebaliknya, ayat al-makkiyah tidak dapat menasakhkan ayat al-madaniyah. Kegunaan ini sulit didapatkan dalam definisi pertama dan kedua.
Berdasarkan definisi di atas, maka ayat-ayat al-Qur’an itu dapat dikategorikan kedalam dua kelompok, yaitu pertama yang diturun sebelum hijrah yang disebut dengan ayat atau surat al-makkiayh, dan kedua surat atau ayat yang diturunkan setelah jirah yang disebut dengan al-madaniyyah.
2. Ciri-ciri Ayat dan Surat Makkiyah serta Madaniyah
Ilmu al-Makkiyah dan al-Madaniyah termasuk dalam kategori ilmu riwayah. Justru itu, ia tidak akan dapat dikuasai dan diketahui kecuali melalui riwayat dari sahabat. Karena hanya merekalah yang menyaksikan turunnya ayat-ayat al-Qur’an kepada Nabi, dalam suasana, tempat dan masa tertentu. Atau boleh juga melalui riwayat taba’in yang mereka terima dari sahabat.
Ada dua cara yang dapat digunakan untuk mengetahui ayat al-makkiyah dan al-madaniyah, yaitu simā`i dan qiyāsi (analogi). Yang pertama adalah berdasarkan penjelasan para sahabat secara langsung. Hal ini dapat diketahui melalui riwayat yang telah ditulis oleh para ahli hadis dalam buku-buku hadis, seperti al-kutub al-sittah. Dan yang terakhir adalah dengan cara membandingkan tanda-tanda al-makki atau al-madani dengan struktur ayat yang terdapat dalam suatu surat.
Dalam hal qiyāsi ini, para ulama telah membuat tanda atau ciri-ciri masing-masing keduanya yang bisa dijadikan standar untuk menentukan makkiyah atau madaniyah-nya suatu surat atau ayat. Ciri-ciri itu adalah :
a. Setiap surat yang mengandung lafaz kallā (كلاَّ ) termasuk al-makkiyah. Kata kalla dalam al-Qur’an terulang 33 kali dalam 15 surat
b. Setiap surat yang terdapat padanya sajadah termasuk al-makkiyah. Maksudnya, setiap surat yang mengandung perintah sujud setelah membaca lafaz-lafaz tertentu adalah termasuk dalam kategori surat al-makkiyah.
c. Setiap surat yang dimulai dengan huruf muqaththa`ah termasuk al-makkiyah, kecuali surat al-Baqarah, Āli Imrān dan al-Ra`d. Mengenai yang terakhir ini para ulama berbeda pendapat.
d. Setiap surat yang terdapat padanya kisah Adam dan Iblis termasuk al-makkiyah, kecuali al-Baqarah.
Dan ciri ayat madaniyah adalah sebagai berikut :
a. Ayat al-madaniyah pada umumnya berbicara tentang hukum syara`, undang-undang sivil, kriminal, jihad, damai, peperangan, hukum waris, hak-hak individu, ekonomi dan sosial.
b. Berbicara tentang orang-orang munafik; menjelaskan akhlak dan prilaku mereka.
c. Perdebatan dengan ahlul kitab tentang akidah mereka dan mengajak mereka agar jangan berlebihan (al-hguluww) dalam persoalan agama sehingga menganggap nabi itu Tuhan.
Jika dilihat pula dari segi uslub (gaya bahasa) yang digunakan, maka ayat al-makkiyah itu dapat ditandai dengan:
a. Ayat dan suratnya pendek dan susunannya jelas.
b. Banyak bersajak dan fāshilah
c. Banyak qasam, tasybih, amtsal. Banyak terjadi pengulangan kata dan kalimat dan juga banyak terdapat uslub ta’kid.
d. Uslub ayat al-makkiyah jarang bersifat konkrit dan realistis materialis, terutama ketika berbincang tentang hari kiamat.
Dari 114 surat isi al-Qur’an terdapat 86 surat makkiyah dan 28 surat lainnya merupakan surat madaniyah.
Suatu surat yang tergolong Makkiyah tidaklah berarti semua ayat yang terkandung di dalamnya makkiyah; kadang-kadang terdapat dalam surat makkiyah beberapa ayat madaniyah, demikian pula sebaliknya. Hal itu seperti yang terlihat dalam surat al-An`ām; surat ini termasuk al-makkiyah tetapi di dalamnya terdapat juga beberapa ayat al-Madaniyah, yaitu ayat 20, 23, 91, 93, 114, 141, 151, 152 dan 153.
Latihan
Agar saudara dapat memahami pokok bahasan ini lebih dalam lagi, pertanyaan-pertanyaan berikut ini perlu saudara jawab:
1. Apakah yang dimaksud dengan surat dan ayat makkiyah ?
2. Apakah yang dimaksud dengan surat dan ayat madaniyah ?
3. Kemukakanlah karakteristik ayat dan surat makkiyah !
4. Kemukakanlah karakteristik ayat dan surat madaniyah
5. Sebutkanlah surat-surat apa saja yang termasuk dalam kelompok makkiyah dan madaniyah !
Rangkuman
















E. Asbab al-Nuzul
Tujuan Pembelajaran:
Setelah mengikuti materi kuliah Asbab al-Nuzul ini, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut:
a. Mahasiswa mengetahui konsep asbab al-nuzul
b. Mahasiswa mengetahui bentuk-bentuk asbab al-nuzul
c. Mahasiswa mengetahui dan memahami urgensi asbab al-Nuzul dalam menafsirkan al-Qur’an
1. Pengertian Asbab al-Nuzul
Ungkapan asbāb al-nuzūl terdiri dari dua kata, yaitu asbāb dan al-nuzūl. Kata asbāb merupakan jama` dari sabab dan al-nuzūl adalah masdar dari nazala. Secara harfiah, sabab berarti sebab atau latarbelakang, maka asbāb berarti sebab-sebab atau beberapa sebab atau beberapa latarbelakang. Sedangkan al-nuzūl berarti turun. Maka dengan demikian, kata asbāb al-nuzūl secara harfiah berarti sebab-sebab turun atau beberapa latarbelakang yang membuat turun. Jika dikaitkan dengan al-Qur’an, maka asbāb al-nuzūl itu bermakna beberapa latarbelakang atau sebab yang membuat turunnya ayat-ayat al-Qur’an.
Secara istilah asbāb al-nuzūl dapat didefinisikan kepada “suatu ilmu yang mengkaji tentang sebab-sebab atau hal-hal yang melatrbelakangi turunnya ayat al-Qur’an”. Menurut al-Zarqani, asbāb al-nuzūl adalah pristiwa yang menjadi sebab turunnya suatu ayat atau beberapa ayat, di mana ayat tersebut bercerita atau menjelaskan hukum mengenai pristiwa itu pada waktu terjadinya. Atau suatu pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi, di mana pertenyaan itu menjadi sebab turunnya suatu ayat sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut .
Jadi, terlihat dalam penjelasan di atas bahwa ada sebab dan ada pula musabab. Sebab adalah pristiwa yang terjadi pada masa Nabi atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi. Dan musababnya adalah ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi untuk merespon pristiwa atau menjawab pertanyaan tersebut.
Apabila dilihat dari sisi asbāb al-nuzūl ini, ayat-ayat al-Qur’an dapat diklasifikasikan kepada dua kelompok; pertama ayat-ayat yang mempunyai sebab atau latarbelakang turun dan kedua ayat-ayat yang diturunkan tidak didahului oleh suatu pristiwa atau pertanyaan. Ayat dalam kategori yang terakhir ini lebih banyak dari bagian pertama. Pada umumnya ayat yang mempunyai sebab nuzul adalah ayat-ayat hukum dan ayat-ayat yang dimulai dengan yas’alūnaka. Tetapi hal ini tidak berarti ayat-ayat yang tidak berbicara tentang hukum tidak mempunyai sebab nuzul sama sekali; ada juga di antara ayat-ayat yang tidak berbicara tentang hukum mempunyai sebab nuzul.
Jadi, ada ayat yang memiliki sebab nuzul dan ada pula yang tidak. Ayat yang tidak memiliki sebab nuzul tidak berarti, bahwa ayat-ayat itu turun secara tiba-tiba tanpa ada kaitannya dengan fenomena masyarakat.
Setiap ayat yang turun kepada Nabi, pada hakikatnya, merupakan respon ilahiah terhadap kondisi masyarakat dunia pada masa itu yang tergambar dalam sistem masyarakat Arab. Ayat-ayat tentang aqidah, misalnya, turun untuk merespon sikap masyarakat yang mengabaikan akal sehat dengan menyembah berhala. Maka jika dilihat dari sisi ini, ternyata tidak ada ayat al-Qur’an yang turun tanpa sebab nuzul. Fenomena keseharian masyarakat sebagai individu, anggota keluarga, anggota masyarakat dan kepemimpinan merupakan latarbelakang membuat turunnya ayat al-Qur’an untuk menjawab fenomena tersebut. Respon ayat-ayat itu terhadap fenomena yang berlaku ada yang negatif lalu menolaknya, dan ada pula positif yang kemudian dilegalkan, dan atau diadakan revisi terhadap sistem yang ada .
2. Bentuk Asbab al-Nuzul
Berdasarkan definisi di atas, maka asbāb al-nuzūl itu mempunyai dua bentuk; pertama dalam bentuk peristiwa atau kejadian, dan kedua dalam bentuk pertanyaan. Yang pertama, misalnya, terjadi suatu peristiwa di kalangan sahabat kemudian turun ayat merespon peristiwa tersebut sehingga dapat diselesaikan. Dan yang terakhir maksudnya adalah pertanyaan, baik yang muncul dari sahabat atau yang berasal dari orang kafir, yang ditujukan kepada Nabi kemudian turun ayat untuk menjawab pertanyaan itu.
Para mufassir membagi pristiwa itu kepada tiga macam, yaitu:
a. Perdebatan (jadal), yaitu perdebatan antara sesama umat Islam atau antara umat Islam dengan orang-orang kafir, seperti perdebatan antara sahabat Nabi dengan orang-orang Yahudi yang menyebabkan turunnya ayat 96 surah Āli `Imrān. Mujahid berkata; suatu ketika umat Islam dan Yahudi saling membanggakan kiblat mereka. Orang Yahudi berkata, Bayt al-Maqdis lebih utama dari Ka`bah karena kesanalah tempat berhijrahnya para nabi dan ia terletak pada tanah suci. Umat Islam berkata pula, Ka`bah-lah yang paling mulia dan utama. Maka kemudian turun ayat 96 tersebut, yaitu :
• •   ••      
Atinya: Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi alam semesta (manusia semuanya).
b. Kesalahan, yaitu pristiwa yang merupakan perbuatan salah yang dilakukan oleh sahabat kemudian turun ayat guna meluruskan kesalahan tersebut agar tidak terulang lagi, seperti kejadian yang menyebabkan turunnya ayat 43 surah al-Nisā’, yaitu :
           
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu dekati shalat padahal kamu sedang mabuk sehingga kamu mengetahui apa-apa yang kamu katakan.
Pada suatu ketika Abd al-Rahman bin `Auf melakukan kenduri, dia mengundang para sahabat Nabi dan menjamu mereka dengan makanan dan minuman khamar. Merekapun berpesta dengan makanan dan minuman tersebut kemudian mabuk. Selanjutnya waktu maghrib pun masuk. Mereka lalu shalat dengan diimami oleh salah seorang dari mereka. Sang imam dalam shalatnya membaca surah dengan bacaan yang salah; dia membaca surat al-Kāfirūn dengan tidak membaca huruf nafi pada kata لاأعبد ما تعبدون, sehingga ayat itu dibacanya dengan أعبد ما تعبدون (aku sembah apa yang kamu sembah). Pristiwa ini disampaikan kepada Nabi, maka turunlah ayat di atas.
c. Harapan dan keinginan, seperti sebab nuzul ayat :
       •                 •               
Artinya: Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Al-Barra’ mengatakan; setelah sampai di Kota Madinah, Rasul saw shalat menghadap bayt al-maqdis selama 16 bulan, padahal dia lebih suka berkiblat ke Kacbah. Maka setiap kali shalat, Nabi selalu menengadah ke langit mengharap turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Ka`bah. Maka justru itu, turunlah ayat di atasa.
Asbāb al-nuzūl dalam bentuk pertanyaan dapat dikategorikan kepada tiga macam, yaitu pertanyaan tentang hal-hal berkaitan dengan masa lalu, masa yang berlangsung dan pertanyaan yang berkaitan dengan kejadian masa yang akan datang. Pertanyaan mengenai kejadian masa lalu seperti pertanyaan orang-orang Yahudi tentang Zul Qarnayn, yang menyebabkan turunya ayat:
         • 
Mengenai hal-hal yang sedang berlangsung seperti pertanyaan sahabat tentang hukum mempergauli wanita sedang haid, yang menyebabkan turunya ayat:
                         •      
Dan mengenai hal yang akan terjadi adalah seperti pertanyaan orang kafir tentang kejadian kiamat, yang menyebabkan turunnya ayat 187 surat al-A’rāf :
                                        ••   
Peristiwa yang menyebabkan turunnya suatu ayat pada hakikatnya adalah Hadis. Oleh sebab itu, asbāb al-nuzūl termasuk ilmu riwayah bukan dirayah; untuk mendapatkannya mesti berdasarkan riwayat tidak mungkin dengan ijtihad. Ia ada yang sahih dan ada pula yang tidak sahih. Yang boleh dijadikan sandran hukum hanyalah sebab nuzul yang sahih saja . Yang boleh dipedomani dalam menentukan asbāb al-nuzūl adalah perkataan para sahabat yang langsung menyaksikan peristiwa, atau diterimanya berita tentang peristiwa itu dari sahabat lain.
Karena sebab nuzul itu adalah Hadis atau riwayat sahabat, maka untuk mencari sebab nuzul suatu ayat mestilah merujuk kepada buku-buku Hadis, terutama bab mengenai tafsir al-Qur’an. Selain itu, sebab nuzul juga dapat diketahui melalui buku-buku yang telah ditulis oleh para ulama, khusus mengenai Asbāb al-nuzūl, seperti buku Asbāb al-nuzūl karya al-Wahidi. Atau dapat pula diketahui melalui buku-buku tafsir.
3. Urgensi Asbab al-Nuzul dalam Menafsirkan al-Qur’an
Asbab al-nuzul suatu ilmu yang sangat penting dikuasai oleh seseorang dalam menafsirkan al-Qur’an. Tanpa bantuan ilmu ini seseorang bisa salah dalam menafsirkannya, karena ayat al-Qur’an kadang-kadang menjelaskan hukum secara umum sedangkan yang dimaksud adalah khusus yang menyangkut dengan pristiwa itu saja. Al-Wahidi mengatakan; tidak mungkin menafsirkan al-Qur’an tanpa mengetahui kisah dan penjelasan turunnya. Sebagai ilustrasi betapa pentingnya menguasai sebab nuzul dalam memahami suatu ayat, berikut ini dijelaskan beberapa contoh :
a. Ayat 93 surah al-Mā’idah :
           • •    • •  • •     
Artinya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh mengenai apa yang mereka makan selama mereka bertakwa.
Jika ayat ini ditafsirkan tanpa memperhatikan sebab nuzulnya, maka mungkin saja orang akan berkata; “orang boleh memakan apa saja, asal dia tetap dalam keberimanan dan beramal saleh”, seperti yang pernah dipahami oleh Usman bin Ma`zun dan Umar bin Ma`adi Karb; berdasarkan ayat itu, keduanya mengatakan khamar itu mubah. Hal ini jelas bertentangan dengan ayat 3 surah al-Mā’idah yang melarang setiap muslim memakan babi, darah, bangkai, khamar dan lain sebagainya.
Sebetulnya, ayat di atas khusus berlaku bagi orang-orang mukmin yang telah meminum khamar dan telah meninggal sebelum turun ayat yang melarang meminumnya. Mereka ini tidak berdosa, karena belum ada larangan pada waktu itu. Sebab turunnya ayat 93 itu adalah: “ Setelah turunnya ayat larangan meminum khamar, para sahabat bertanya kepada Nabi: bagaimana dengan sahabat-sahabat kita yang telah meninggal, pada hal mereka itu minum khamar. Dan sekarang Allah nyatakan bahwa khamar itu rijsun (perbuatan) syaitan? Maka untuk menjawab pertanyaan sahabat tersebut turunlah ayat di atas .
b. Marwan bin Hakam merasa sulit memahami ayat 188 surah Āli `Imrān, yaitu :
 •     •       •        
Artinya: Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang bergembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan. Janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.
Marwan, dalam memahami ayat ini, berkata: siapa saja yang bergimbara dengan apa yang telah dia kerjakan dan suka dipuji dengan apa yang belum dia perbuat, maka kami benar-benar akan menyiksanya. Kemudian Ibn Abbas menjelaskan kepadanya sebab nuzul ayat ini, yaitu; “ayat ini turun kepada ahl al-Kitāb ketika Nabi bertanya kepada mereka mengenai sesuatu. Mereka menyembunyikannya dan menyampaikan kepada Nabi hal yang lain. Mereka seolah-olah telah menyampaikan hal yang sebenarnya, sesuai pertanyaan Nabi. Dengan demikian, mereka itu ingin dipuji. Maka ayat itupun turun mengambarkan perbuatan mereka tersebut.
Secara rinci dapat ditegaskan, bahwa paling tidak ada empat manfaat mengetahui sebab nuzul, yaitu:
a. Untuk mengetahui pristiwa atau kejadian yang menyebabkan disyari’atkannya suatu hukum, di mana hukum itu juga bisa berlaku pada pristiwa yang sama jika terjadi kemudian. Hal ini seperti yang terlihat dalam sebab nuzul ayat :
                            
Artinya: Maka siapa saja di antara kamu yang sakit atau gangguan di kepalanya (kemudian dia mencukur rambutnya), maka hendaklah dia membayar fidyah dengan berpuasa, atau bersedakah atau berkurban.
Sebab nuzul ayat ini berkaitan dengan apa yang dialami oleh Ka`ab ketika ihram, yaitu terdapat banyak kutu di kepalanya sehingga dia merasa susah dengan keadaan itu. Dia ingin mencukur rambutnya, tetapi hal itu terlarang karena dalam ihram. Maka ayat ini turun membolehkan Ka`ab mencukur rambutnya dengan syarat bahwa dia mesti membayar fidyah salah satu di antara tiga hal; berpuasa, memberi makan fakir miskin atau berkurban. Keringanan seperti ini juga berlaku pada siapa saja, jika mengalami pristiwa atau keadaan yang sama.
b. Untuk mengetahui hukum-hukum khusus yang berkaitan dengan sebab nuzul, walaupun lafaznya umum seperti yang terlihat dalam sebab nuzul ayat 188 surat Āli `Imrān di atas.
c. Dapat membantu mufassir memahami suatu ayat yang tidak mungkin dipahami tanpa bantuan sebab nuzul. Sebab, kadang-kadang suatu ayat bercerita tentang pristiwa yang dialami seseorang. Hal ini seperti yang terdapat dalam firman Allah :
               •    
Artinya: Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan halnya kepada Allah, dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui .
Yang dimaksud dengan ungkapan الَّتِيْ تُجَادِلُكَ (seorang perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu) adalah Khulah binti Sa`labah yang telah dizihar oleh suaminya. Jadi, dengan bantuan sebab nuzul seorang mufassir dapat menjelaskan makna ungkapan tersebut.

d. Sebab nuzul menjelaskan kepada siapa ayat itu diturunkan, sehingga ia tidak ditanggungkan atas yang lain. Hal ini seperti tergambar dalam ayat poin “c” di atas.
Latihan
Untuk memantapkan pemahaman saudara mengenai pokok bahsan ini, soal-soal berikut ini perlu saudara jawab, yaitu :
1. Jelaskanlah pengertian asbab al-nuzul secara bahasa dan istilah !
2. Kemukakanlah bentuk-bentuk asbab al-nuzul itu !
3. Jelaskanlah urgensi asbab al-Nuzul dalam menafsirkan al-Qur’an !
Rangkuman












F. Muhkam dan Mutasyābih
Tujuan Pembelajaran :
Setelah mengikuti materi kuliah Muhkam dan Mutasyābih ini, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut:
a. Mahasiswa mengetahui dan memahami pengertian muhkam
b. Mahasiswa mengetahui dan memahami pengertian mutasyābih
c. Mahasiswa mengtahui karakteristik ayat-ayat muhkam
d. Mahasiswa mengetahui karakteristik ayat-ayat mutasyābih
e. Mahasiswa dapat mengetahui hal-hal yang menyebabkan mutasyābihnya suatu ayat
1. Pengertian Muhakam dan Mutashabih
Kata muhkam merupakan isim maf`ūl dari ahkama yang secara harfiah semakna dengan atqana atau mutqan yang berarti kuat atau dikuatkan. Selain itu, muhkam secara bahasa juga berarti wādhih (jelas). Sedangkan mutasyābih adalah isim fa`il tasyābaha, yang semakna dengan mumātsalah yang berarti serupa, samar-samar atau tidak jelas.
Berdasarkan makna harfiah di atas, maka muhkam secara istilah dapat diartikan kepada “Ayat-ayat al-Qur’an yang jelas maknanya; ia tidak mempumnyai kemungkinan makna lain selain makna yang jelas itu. Sedangkan mutasyābih berarti “ayat-ayat al-Qur’an yang belum jelas maknanya; ia mempunyai beberapa kemungkinan makna yang tidak pasti, mana di antara makna-makana itu yang mesti digunakan dalam menafsirkan ayat bersangkutan” . Ayat muhkam, misalnya, terdapat dalam firman Allah surat al-An`ām ayat 151 dan 152. Dan ayat mutasyābih, menurut definisi ini, adalah seperti kata qurū’ dalam surah al-Baqarah ayat 228 yang memperbincangkan iddah wanita.
Selain dari definisi di atas, terdapat pula definisi lain yang dikemukakan oleh para mufassir, yaitu muhkam adalah ayat-ayat yang dapat diketahui maksudnya, baik secara zahir (berdasarkan makna zahir) ataupun dengan cara mena’wilkannya. Sedangkan mutasyābih berarti ayat-ayat yang tidak dapat diketahui manusia maknanya; hanya Allah yang tahu, seperti ayat mengenai berita tentang kiamat dan huruf-huruf potong (al-hurūf al-muqaththa`ah) yang terdapat di awal surat . Berdasarkan definisi ini, maka mutasyābih dalam definisi pertama di atas termasuk dalam kategori muhkam.
Berdasarkan penjelasan di atas, ayat-ayat al-Qur’an dapat dikategorilan ke dalam dua macam; ayat muhkam dan ayat mutasyābih. Hal itu dijelaskan dalam ayat 7 surah Āli `Imrān, yaitu:
              •                        •          ï

 

Silahkan login untuk meninggalkan balasan.

Pesan

Notifikasi