Potret Pahlawan Tanpa Tanda Jasa di Daerah Terpencil
82 2 22-04-2013
1 suka
27-09-2013, 11:33:33
Keberadaan sekolah swasta SMP Cibitung Plus di Desa Cibitung Kecamatan Ciater Kabupaten Subang, disertai kisah pilu para guru di sekolah terpencil tersebut. Padahal, sekolah yang didirikan sejak tahun lalu ini berperan besar dalam memberikan pendidikan bagi warga setempat. Sekolah ini digadang-gadang didirikan untuk mencegah siswa putus sekolah setelah lulus SD karena tidak melanjutkan ke SMP, lantaran alasan jarak yang sangat jauh dan biaya transportasi yang mahal.

"Sekolah ini dibangun tahun 2012 untuk mencegah siswa lulusan SD putus sekolah. Guru-gurunya juga dari luar sebanyak 7 orang dan semuanya bukan PNS. Mereka ngajar di sekolah ini gajinya per jam Rp 12.500," kata Kepala Sekolah SMP Cibitung Plus, Muhammad Heri Subekti kepada Tribun di Subang.

Meski dengan gaji per jam sebesar Rp 12.500, namun, dalam sebulan, guru-guru tersebut hanya mendapat jatah mengajar selama 4 jam dalam sebulan. Hal itu, karena menyesuaikan dengan keuangan sekolah yang tidak mendapat bantuan dari pemerintah.

"Paling besar gaji yang diterima guru-guru sukarela di sini Rp 50 ribu selama sebulan. Memang itu tidak layak, karena untuk ongkos ke sini selama sebulan lebih Rp 50 ribu. Tapi semuanya ikhlas, semuanya berangkat dari niat ingin mengajar di sini dan mencegah siswa putus sekolah ke SMP," kata Heri.

Heri mengaku, dirinya bukan warga Desa Cibitung. Hanya saja, di tahun 1992, dia pernah melakukan aktivitas pendidikan di desa tersebut dan merasa miris dengan kondisi pendidikan di daerah tersebut yang masih terbelakang. "Sejak saat itulah saya berniat ingin membangun sekolah di desa ini karena saya miris lihat siswa putus sekolah setelah lulus SD bahkan ada yang menikah di usia dini," ujarnya.

Di sekolah swasta yang didirikan untuk tanggap darurat putus sekolah ini, setiap siswa tidak dipungut bayaran sama sekali. Semuanya, sudah dibiayai oleh yayasan tempat sekolah tersebut bernaung.

"Meski dengan tempat seadanya, semua siswa di sini sekolah tidak dipungut biaya. Semuanya gratis. Semua apa yang kami lakukan memang hanya untuk mencegah agar siswa di kampung terpencil di desa ini tidak putus sekolah," kata Heri.

Hal yang sama diakui oleh Giman Hidayat, guru pendidikan komputer di SMP Cibitung Plus. Ia mengakui bahwa pendapatannya mengajar di SMP tersebut tidak seberapa. Bahkan sangat kurang dari kata layak. "Iya, memang segitu. Tapi ngajar di sini bukan cari uang. Saya mah mengabdi saja buat orang-orang di sana," kata Giman.

Ia sendiri tidak mempermasalahkan penghasilan yang tidak layak tersebut. Terlebih lagi, ia memiliki pekerjaan sampingan sebagai tour guide di obyek wisata Sari Ater.

"Selain di sini saya juga punya pekerjaan. Jadi tidak masalah kalau digaji Rp 50 ribu juga. Saya ikhlas, saya niatnya membantu agar siswa tidak putus sekolah," katanya.

Bangunan SMP Cibitung Plus ini sendiri, terbilang sangat sederhana. Kira-kira berukuran 6-8 meter dan berdinding bilik. Di dalam bangunan SMP, dibuat sekat untuk ruangan kelas 3, ruangan kelas 2 yang digabung dengan kelas 1 dan ruangan khusus praktek komputer yang sudah dilengkapi satu unit komputer.

"Siswa disini, kelas 1 satu orang , kelas 2 9 orang dan kelas 3 2 orang. Untuk kelas 1, belajarnya digabung dengan kelas dua karena sudah tidak ada ruangan lagi. Kebanyak siswa disini berasal dari Kampung Sukasari, Rasugata, Genteng, Sukanegara dan Babakan Picung. Siswa lainnya di desa ini, untuk SMP harus pergi ke wilayah Kecamatan Ciater," ujar Giman.

"Yang sekolah SMP di sini, mereka yang kurang mampu menyekolahkan anaknya ke daerah lain yang lebih layak, seperti di pusat Kecamatan Ciater. Sebetulnya bukan semata soal kemampuan membayar biaya pendidikan, tapi lebih kepada mahalnya biaya transportasi dari kampung mereka. Bayangin saja sehari untuk biaya transportasi anaknya ke sekolah, bisa mencapai Rp 30 ribu," ujarnya.

(Sumber :tribunnews.com)

 

Silahkan login untuk meninggalkan balasan.

Pesan

Notifikasi