Sistem Sewa Tanah (Landrente) ala Raffles
(474)
3 0 08-11-2016
1 suka
14-11-2016, 12:16:49
PENDAHULUAN Setelah kepergian Gubernur Jenderal Daendeles dari indonesi, Jawa diduduki oleh Inggris dalam tahun 1811. Zaman pendudukan Inggris ini hanya berlangsung selama lima tahun, yaitu tahun 1811 dan 1816, akan tetapi selama waktu ini telah diletakkan dasar-dasar kebijakan ekonomi yang sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijakan pemerintah kolonial belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan dari pemerintah kolonial Inggris. Azas-azas pemerintahan sementara Inggris ini ditentukan oleh Letnan Gubernur Raffles, yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman Inggris di india. Pada hakikatnya Raffles ini menciptakan suatu sistem ekonomi di jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan oleh kompeni Belanda (VOC) dalam rangka kerja sama dengan raja – raja dan para bupati. secara konkrit Raffles ingin menghapus segala penyerahan wajib dan pekerjaan rodi yang selama zaman VOC selalu dibebankan kepada rakyat, khususnya petani. Kepada para petani ini Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha. Dalam hal ini pandangan Raffles dalam banyak hal sama dengan pandangan seorang pejabat Belanda dari akhir zaman VOC yang bernama Dirk Van Hogendrop. Van Hogendrop ini telah menarik kesimpulan dari pengamatannya di Indonesia bahwa sistem feodal yang terdapat di Indonesia pada waktu itu dan yang telah dimanfaatkan oleh VOC mematikan segala daya usaha rakyat Indonesia. Raffles sendiri menentang sistem VOC karena keyakinan-keyakinan politiknya, yang sekarang dapat disebut liberal, maupun karena berpendapat bahwa sistem eksploitasi seperti yang telah dipraktekan oleh VOC tidak menguntungkan. Apa yang kehendakinya sebagai pengganti sistem VOC adalah suatu sistem pertanian dimana para petani atas kehendaknya sendiri menanam tanaman dagangan yang dapat diekspor ke luar negeri. Dalam hal ini pemerintah kolonial hanya berkewajiban untuk menciptakan segala pasaran yang diperlukan guna merangsang para petani untuk menanam tanaman-tanaman ekspor yang paling menguntungkan. Dalam usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan kolonial yang baru, Raffles ingin berpatokan pada tiga azas. Pertama, segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan kebebasan penuh diberikan kepada rakyat untuk menentukan jenis tanaman apa yang hendak ditanam tanpa unsur paksaan apapun juga. Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian yang integral dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan azas-azas pemerintahan di negeri-negeri barat. Ketiga, berdasarkan anggapan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, maka para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa (tenant) tanah milik pemerintah. Untuk penyewaan ini petani wajib membayar sewa tanah (land-rent) atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah. Sewa tanah inilah selanjutnya yang dijadikan dasar kebijakan ekonomi pemerintah Inggris di bawah Raffles dan kemudian dari pemerintah Belanda sampai tahun 1830. PELAKSANAAN Sistem sewa tanah tidak meliputi seluruh Pulau Jawa. Misalnya daerah-daerah di sekitar Jakarta, pada waktu itu Batavia, maupun daerah-daerah Parahiyangan sistem sewa tanah tidak diadakan, karena daerah-daerah sekitar Batavia pada umumnya adalah milik swasta, sedangkan di daerah Parahiyangan pemerintah kolonial berkeberatan menghapuskan sistem tanam paksa kopi yang memberikan keuntungan yang sangat besar. Jelaslah kiranya jika pemerintah kolonial tidak bersedia untuk menerapkan azas-azas liberal secara konsisten jika hal ini mengandung kerugian material yang besar. Mengingat bahwa Raffles hanya berkuasa untuk waktu yang singkat di Jawa, yaitu lima tahun, dan mengingat pula terbatasnya pegawai-pegawai yang cukup dan dana-dana keuangan, tidak mengherankan bahwa Raffles akhirnya tidak sanggup melaksanakan segala peraturan yang bertalian dengan sistem sewa tanah itu. Pelaksanaan sistem sewa tanah mengandung tiga aspek yaitu: pertama, menyelenggarakan suatu sistem pemerintahan atas dasar modern (baca: barat). Kedua, pelaksanaan pemungutan sewa. Ketiga, penanaman tanaman dagangan untuk dieksport. Mengenai aspek yang pertama, apa yang dimaksud Raffles dengan pemerintahan yang modern adalah penggantian pemerintahan-pemerintahan tidak langsung yang dahulu dilaksanakan melalui raja-raja dan kepala-kepala tradisional dengan suatu pemerintahan yang langsung. Fungsi-fungsi pemerintahan yang mereka tunaikan sampai waktu itu, sekarang dilakukan oleh pegawai-pegawai Eropa yang jumlahnya bertambah banyak. oleh Raffles diadakan asisten-residen, yang bertugas untuk mendampingi dan mengawasi para bupati, dan “pengawas penghasilan yang diperoleh dari tanah” (opzieners der landelijke inkomsten) yang kemudian disebut Pengawas Pamongpraja (controleur van het binnenlands bestuur). Dengan makin bertambahnya pengaruh pejabat-pejabat Eropa, pengaruh para bupati pribumi makin berkurang. Bahkan diantara pejabat-pejabat Eropa timbul pikiran untuk menghilangkan sama sekali jabatan bupati. Selanjutnya adalah mengenai aspek kedua, yaitu pelaksanaan pemungutan sewa tanah. Selama zaman VOC pajak berupa beras yang harus dibayar oleh rakyat kepada VOC ditetapkan secara kolektif untuk seluruh desa. Dalam mengatur pungutan wajib ini para kepala desa oleh VOC diberi kebebasan penuh untuk menetapkan jumlah-jumlah yang harus dibayar oleh masing-masing petani. sudah barang tentu kebebasan ini mengakibatkan tindakan-tindakan sewenang-wenang yang sering merugikan rakyat. Sebagai seorang liberal, raffles menentang kebiasaan ini. Berdasarkan keyakinannya bahwa penduduk Jawa harus dapat menikmati kepastian hukum maka ia mempertimbangkan penetapan pajak secara perorangan. Akan tetapi tidak lama kemudian bahwa pelaksanaan pemungutan pajak secara perorangan mengalami banyak kesulitan. Aspek ketiga dari sistem sewa tanah adalah promosi penanaman tanaman-tanaman perdagangan untuk ekspor. Pada umumnya pelaksanaan berbagai eksperimen mengalami kegagalan. salah satu sebabnya adalah kekurangan pengalaman para petani dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasaran bebas, sehingga sering penjualan ini diserahkan kepada kepala desa mereka. Hal ini mengakibatkan banyak kepala-kepala desa sering menipu petani, sehingga akhirnya pemerintah kolonial terpaksa campur tangan lagi dengan mengadakan lagi tanaman paksa bagi tanaman-tanaman perdagangan. PENILAIAN Pegalaman-pengalaman yang diperoleh selama masa sistem sewa tanah berlaku, baik selama masa pemerintahan sementara Inggris di bawah Raffles maupun selama pemerintahan Belanda di bawah para komisaris jenderal dan Gubernur Jenderal Van Der Capellen, menunjukan bahwa usaha untuk mengesampingkan para bupati dan kepala-kepala desa tidak berhasil. Oleh karena itu gambaran yang diperoleh mengenai pelaksanaan sistem tanah ini tidak merata (uneven). Kadang-kadang di beberapa tempat memang terdapat penanaman secara bebas, akan tetapi lebih sering lagi penanaman bebas ini hanya formalitas belaka.

 

Silahkan login untuk meninggalkan balasan.

Pesan

Notifikasi